Minggu, 24 Juni 2012

PERDAMAIAN (AL-SHULH)


PERDAMAIAN (AL-SHULH)
A.    Pengertian
Al-Shult menurut al-Sayyid Muhammad Syatha al-Dimyathil secara etimologi adalah:

 “Memutuskan pertengkaran”.

Sedangkan menurut istilah (terminologi) didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut.
1.      Menurut Imam Taqiy al-Din Abi  Ibnu Muhammad al Husaini dalam kitab Kifayatu al-Akhyar yang dimaksud al-Shulh adalah:

“Akad yang memutuskan perselisihan dua pihak yang berselisih”.
2.      Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa yang dimaksud dengan al-shulh adalah:

“Akad yang berhasil memutuskannya (perselisihan)”.
3.      Idris Ahmad dalam bukunya Fiqh Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-Shulh adalah semacam akad yang dengan akad itu habislah (terputuslah) perselisihan yang sedang terjadi

B.     Dasar Hukum al-Shulh
Perdamaian (al-Shulh) disyari’atkan oleh Allah Swt, sebagaimana yang tertuang dalam Alqur’an :

Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berpendapat, maka damaikanlah antara keduanya (Al-Hujarat:9)
C.     Rukun dan Syarat al-Shulh
Rukun-rukun al-Shulh adalah sebagai berikut:
1.      Mushalih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa.
2.      Mushalih’anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau disengketakan.
3.      Mushalih’alaih, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan istilah badal al-shulh.
4.      Shigat ijab dan kabul di antara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.

Syarat-syarat Mushalih bih adalah sebagai berikut
a.       Mushalih bih adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan dan berguna.
b.      Mushalih bih dapat diketahui secara jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbukan perselisihan.
D.    Macam-macam Perdamaia
Dijelaskan pada buku Fiqh, Syafi’iyah oleh Idris Ahmad bahwa al-shulh (perdamaian) dibagi menjadi empat bagian berikut ini.
a.       Perdamaian antara muslimin dengan kafir, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu.
b.      Perdamaian antara kepala negara (Imam/khalifah) dengan pemberontak, yakni membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai keamanan dalam negara yang harus ditaati.
c.       Perdamaian antara suami istri, yaitu membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya manakala terjadi perselisihan.
d.      Perdamaian dalam mu’amalat, yaitu membentuk perdamaian dalam masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan.
Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa al-Shulh (Perdamaian) dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a.       Perdamaian tentang iqrar;
b.      Perdamaian tentang inkar;
c.       Perdamaian tentang sukut.

E.     Perdamaian tentang Iqrar
Perdamaian tentang Iqrar adalah seseorang mendakwa orang lain yang mempunyai utang, kemudian tergugat mengakui kegagalan tersebut, kemudian mereka berdua melakukan perdamaian.

F.      Damai tentang Inkar dan Sukut
Damai tentang inkar adalah bahwa seseorang menggugat orang lain tentang sesuatu materi, utang, atau manfaat. Tergugat menolak gugatan atau mengingkari apa yang digugatkan kepadanya, kemudian mereka berdamai. Damai tentang sukut adalah seseorang menggugat orang lain, kemudian tergugat berdiam diri, dia tidak mengakui dan tidak pula mengingkari.

G.    Hukum Damai Inkar dan Sudut
Para ulama memperboehkan dilakukannya perdamaian tentang gugatan yang diingkari dan didiamkan. Ibn Hazm dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa sesuatu yang diingkari dan didiamkan tidak boleh didamaikan. Damai dilakukan untuk sesuatu yang diakui karena al-shulh adalah mengenai hak yang ada, sedangkan dalam inkar dan sukut tidak ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar