Minggu, 24 Juni 2012

SEWA - MENYEWA ( IJARAH )


A.     Pengertian dan dasar hukum Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata أٙجٙرٙ - يٙأْجُر - أٙجْڙا . semakna dengan kata al-iwadh yang mempunyai arti ganti atau upah, dan juga dapat berarti sewa atau upah.[1]
Menurut ulama’ Hanafiyah pengertian Ijarah ialah akad untuk  membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan dilakukan dengan sengaja dari suatu zat yang disewa dan disertai imbalan.
Menurut ulama’ Asy-Syafi’iyah ijarah ialah  akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
Menurut jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.
Menanggapi pendapat di atas bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama’ fiqih adalah asal fasiq (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ maupun qiyas yang shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat di hukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.
Adapun jumhur Ulama’ telah berpendapat bahwasannya hukum asalnya Al-ijarah adalah mubah atau diperbolehkan, bila sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-Qur’an, hadist-hadist Nabi, dan ketetapan Ijma’ Ulama’. Adapun dasar hukum tentang kebolehan Al-ijarah telah disebutkan dibawah ini :

 “ berikanlah upah atau jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”. (Hadist Riwayat Ibnu Majah).
Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkan al-ijarah itu adalah untuk memberi keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Banyak oarang yang mempunyai uang, tetapi tidak dapat bekerja. Dipihak lain banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang. Dengan adanya al-ijarah keduannya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat.[2]
B.     Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu yaitu ijab dan Qobul dari dua belah 
Pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama’ rukun ijarah itu ada empat, yaitu :
                        a. Dua orang yang berakad
                        b. Sighat (ijab dan qabul)
                        c. Sewa atau imabalan
                        d. Manfaat[3]
Adapun syarat-syarat al-ijarah yang ditulis oleh Nasrun Haroen ada 8 yaitu :
  terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama’ Syafi’iyah dan hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum baligh atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah.
  kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorag di antaranyaterpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah nya tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa:29   
  manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu datangan penyewa.
  Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu para ulama’ fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
  Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalakan oleh syara’, oleh sebab itu, para ulama’ fiqh sepakat mengatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk menyantet orang lain, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.
  Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
  Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan.
   Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.[4]
C.     Macam-macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian.
1.    Ijarah ‘ala al-manafi, yaitu obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadi objeknya sebagai tempat yang di manfaatkan untuk kepentingan yang dilarag syara’. Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut, yaitu :
a.       Ijarah al-‘arad (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami apa saja.
b.      Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaanya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghingdari sengketa kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad.
2.    Ijarah ‘ala al-maal ijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti : membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu, pembahasanya lebih di titik beratkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.       Ajir khass adalah pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti : pembantu rumah tangga dan sopir.
b.      Ajir musytarak adalah seseorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya : pengacara dan konsultan.[5]
D.    Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca al-Qur’an yang pahalannya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa, menjadi mu’adzin, menjadi imam, dan lain-lain yang sejenis hukumnya megambil dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rosulullah saw :
“ bacalah olehmu al-Qur’an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan itu”.
Menurut madzab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar al-Qur,an dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi, haram hukumnya mengambil upah jika tujuannnya termasuk taqarrub kepada Allah.
 Madzab Maliki, Syafi’i, dan Ibnu Hazm, membolehkan mengambil upah dari aktivitas yang dianggap sebagai perbuatan baik. Pengajar al-Qur’an, guru agama disekolah atau ditempat lain, dperbolehkan mengambil atau menerima upah sebagai imbalan mengajar al-Qur’an atas jasa yang diberikannya, dan kegiatan sejenis, baik secara bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya, dan karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan keluarganya, mengingat mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan aktifitas lainnya selain aktifitas tersebut.  
E.     Pembatalan dan Berakhirnya al-Ijarah
Ijarah merupakan akad yang lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh (pembatalan) pada salah satu pihak, kecuali jika adanya faktor yang mewajibkan terjadinya fasakh. Faktor-faktor yang menyebabkan ijarah menjadi fasakh, antara lain :
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika barang sewaan berada ditangan penyewa (musta’jir). Benda yang disewakan rusak, seperti rumah yang disewa roboh atau binatang yang disewa mati, atau benda yang diijarahkan rusak, misalnya baju yang diupahkan untuk dijahit dan tidak mungkin untuk diperbaikinya. Menurut jumhur ulama’, kematian pada salah satu orang yang berakad tida dapat memfasakh ijarah, karena ahli warisnya dapat menggantikan posisinya, baik sebagai mu’jir atau musta’jir. Namun ulama’ Hanafiyah berpendapat, bahwa akad ijarah berakhir karena kematian salah satu pihak yang berakad, dan benda ijarah tidak boleh dijual kecuali atas izin musta’jir, atau dia mempunyai hutang sehingga benda itu disita pihak berwajib untuk membayar hutangnya.
b.      Terpenuhinya manfaat benda ijarah atau selesainya pekerjaan dan juga berakhirnya waktu yang telah ditentukan, kecuali apabila ada alasan yang melarang memfasakhnya, seperti masa ijarah terhadap tanah pertanian yang telah habis masa sewanya sebelum tiba masa panennya. Dalam kondisi demikian, status benda ijarah masih berada di tangan penyewa (musta’jir) dengan syarat dia harus membayar uang sewa lagi kepada pemilik tanah (mu’jir) sesuai kesepakatan.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal berikut :
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa
b.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung.
c.       Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e.       Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadia-kejadian yang luar baisa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.[6]


[1] Fathurrahman Jamil, “Fiqh Muamalah” (Jaklarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), vol. 3, hal 155
[2] Abrur Rahman Ghazaly, dkk, “Fiqh Muamalah ” (Jakarta : Kencana, 2010), hal, 278
[3] Rahmat Syafei, “Fiqh Muamalah” (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal, 125
[4] Nasrun Haroen,” fiqh Muamalah” (jakarta: Gaya Media Pratama, 2000). Hal. 232-235
[5] Qomarul Huda, “Fiqh Muamalah” (Yogjakarta : Teras, 2011), hal, 85-87
[6] Sayyid Sabiq, “Fiqh as-Sunnah” (Semarang : Toha Putra,) Juz. 3, hal, 199-200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar