Kamis, 28 Juni 2012

MULTI LEVEL MARKETING (MLM)


MULTI LEVEL MARKETING (MLM)


A.    Pengertian dan Sejarah Multi Level Marketing
Secara Etimologi Multi Level marketing (MLM) berasal dari bahasa Inggris, Multi berarti banyak sedangkan Level berarti jenjang atau tingkat. Adapun marketing berarti pemasaran. Jadi dari kata tersebut dapat difahami bahwa MLM adalah pemasaran yang berjenjang banyak.1 Disebut sebagai multi level karena merupakan suatu organisasi distributor yang melaksanakan penjualan yang berjenjang banyak atau bertingkat-tingkat. MLM ini bisa juga disebut sebagai network marketing. Disebut demikian karena anggota kelompok tersebut semakin banyak sehingga membentuk sebuah jaringan kerja (network) yang merupakan suatu sistem pemasaran dengan menggunakan jaringan kerja berupa sekumpulan banyak orang yang kerjanya melakukan pemasaran.
B.     Multi Level Marketing Dalam Kajian Fiqh
Semua bisnis yang menggunakan sistem MLM dalam literatur fiqh termasuk dalam kategori muamalah yang dibahas dalam bab Al-Buyu’ (Jual-Beli). Dalam kajian fiqh kontemporer bisnis MLM ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu produk barang atau jasa yang dijual dan cara atau sistem penjualannya (selling marketing). Mengenai produk atau barang yang dijual apakah halal atau haram tergantung kandungannya, apakah terdapat sesuatu yang diharamkan Allah seperti unsur babi, khamr, bangkai atau darah. Begitu pula dengan jasa yang dijual apakah mengandung unsur kemaksiatan seperti praktik perzinaan, perjudian atau perdagangan anak dsb, dan ini semua bisa kita rujuk pada serifikasi Halal dari LPPOM MUI. Perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, melainkan juga produk jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa
marketing fee, bonus sebagainya tergantung level, prestasi penjualan dan status keanggotaan distributor. Jasa penjualan ini (makelar) dalam terminologi fiqh disebut sebagai “Samsarah/simsar”. Maksudnya perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli) untuk memudahkan jual beli. 6 Pekerjaan Samsarah/simsar yang berupa makelar, distributor atau agen dalam fiqh termasuk akad ijarah yaitu transaksi memanfaatkan jasa orang dengan imbalan. Pada dasarnya para ulama seperti Ibnu Abbas, Imam Bukhari, Ibnu Sirin, Atha dan Ibrahim memandang boleh jasa ini. 7 Namun untuk sahnya pekerjaan ini harus memenuhi beberapa syarat diantaranya :
1. Adanya Perjanjian yang jelas antara kedua belah pihak.
2. Objek akad bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan.
3. Objek akad bukan hal-hal yang diharamkan dan maksiat.
Distributor dan perusahaan harus jujur, ikhlas, transparan, tidak menipu dan tidak menjalankan bisnis yang haram dan syubhat (tidak jelas halal/haramnya). Distributor dalam hal ini berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya. Sedangkan pihak perusahaan yang menggunakan jasa marketing harus segera memberikan imbalan para distributor dan tidak boleh menghanguskan atau menghilangkannya. Pola ini sejalan dengan firman Allah QS. Al-A’raf : 85 dan al- Baqarah : 233
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya”
“dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut”
Dan hadis nabi “ Berilah para pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya.”
(H.R. Ibnu Majah, Abu Ya’la dan Thabrani).
Jumlah upah atau imbalan jasa yang harus diberikan kepada makelar atau distributor adalah menurut perjanjian seuai dengan al-qur’an surah al-Maidah : 1
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
kemudian hadist nabi ; “ orang-orang muslim itu terikat dengan pejanjian-perjanjian mereka” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, hakim dari Abu Hurairah).
Jadi pada dasarnya hukum dari MLM ini adalah mubah berdasarkan kaidah ushuliyah “ al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah hatta dallad dalilu ala tahrimiha “ (asal dari semua transaksi / perikatan adalah boleh sehingga ada indikator yang menunjukkan keharamannya). Selain itu bisnis ini bebas dari unsur-unsur Riba (sistem bunga), gharar (penipuan), dharar (bahaya), jahalah (tidak transparan) dan zhulm (merugikan orang lain) dan yang lebih urgen adalah produk yang dibisniskan adalah halal. Karena bisnis MLM merupakan bagian dari perdagangan oleh sebab
itu bisnis ini juga harus memenuhi syarat dan rukun sahnya sebuah perikatan. Dalam pandangan jumhur yang termasuk rukun akad adalah sebagai berikut :
A. Al-‘aqidain (subjek/ dua orang yang melakukan akad)
Yaitu para pihak yang melakukan akad. Sebagai pelaku dari suatu tindakan hukum (subjek hukum) tertentu dan sering kali diartikan sebagai pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum. Adapun syarat manusia yang menjadi subjek hukum adalah berakal, tamyiz (dapat membedakan), dan mukhtar (bebas dari paksaan/suka sama suka). Sedangkan badan hukum memiliki perbedaan dengan manusia dalam hal:
1. Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang dimiliki manusia seperti hak berkeluarga, hak pusaka dll.
2. Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum.
3. Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.
4. Ruang gerak badan hukum dalam bertindak dibatasi oleh ketentuanketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.
5. Tindakan badan hukum adalah tetap tidak berkembang.
6. Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana tapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.
Dari unsur diatas maka dapat dilihat bahwa bisnis MLM adalah sebuah perusahaan bisnis yang memilki badan hukum, yang mana dalam pelaksanaan sistemnya dikerjakan oleh orang perseorangan serta diharuskan bagi anggota yang ingin bergabung dengan perusahaan ini melakukan sebuah akad/transaksi yang didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak. Jika salah satu pihak keberatan atas sistem dan perjanjian mereka maka salah satunya diberi hak untuk memilih untuk bergabung atau tidak, dan ini dilakukan diawal transaksi. Sistem ini sesuai dengan syarat syahnya subjek hukum yaitu mukhtar (tidak ada paksaan dan suka sama suka).
B. Objek Perikatan (mahallul ‘aqdi)
Yaitu sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Hal ini bisa berupa benda (produk) atau jasa (manfaat). Adapun syarat yang harus dipenuhi yaitu :
1. Objek harus ada ketika akad dilangsungkan
2. Objek harus dibenarkan oleh syariah
3. Objek harus jelas dan dikenali
4. Objek dapat diserah terimakan
Dalam bisnis MLM biasanya menjual sebuah produk baik itu barang maupun jasa. Produk tersebut haruslah memiliki kualitas yang cukup baik agar bisa bersaingdi pasar dan ini merupakan faktor kunci dari sebuah perusahaan agar bisa disebut sebagai sebuah MLM atau tidak dan produk ini sudah disiapkan oleh perusahaan sebelum perusahaan menjual kepada calon member atau konsumen. Ketika seorang calon member membeli sebuah produk, dia diharuskan mempelajari terlebih dahulu kegunaan dan manfaat dari produk yang akan dibelinya, apakah sesuai dengan syariah atau tidak. Selanjutnya setelah dia membeli produk tersebut maka otomatis dia memiliki hak kepemilikan atas produk tersebut serta otomatis produk tersebut telah berpindah ketangan calon member/konsumen tersebut, dan pola ini sesuai dengan syarat dan rukun diatas.
C. Tujuan Perikatan (maudhu’ul aqdi)
Yaitu sebuah akad harus sesuai dengan azas kemaslahatan dan manfaat. Ahamad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan sebuah akad dipandang sah dan memiliki akibat hukum yaitu :
1. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
2. Tujuan akad harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad
3. Tujuan akad harus sesuai syariat.
Perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, melainkan juga bertujuan untuk merekrut calon member agar bisa memasarkan produknya tersebut melalui sistem multi level yang telah ditetapkan perusahaan. Jasa pemasaran (marketing) ini akan dihargai dengan sejumlah pemberian bonus (fee) tergantung sampai sejauh mana target pemasaran yang telah dia peroleh. Selain produknya mendatangkan manfaat bagi konsumen juga bermanfaat bagi member yang ingin menjalankan bisnisnya secara teratur dan baik. Tujuan inilah yang mungkin sesuai dengan rukun akad diatas.
D. Shigatul aqdi (Ijab-kabul)
Yaitu ungkapan para pihak yang melakukan proses transaksi. Ijab merupakan suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan sesuatu atau tidak sedangkan Kabul merupakan pernyataan menerima atau persetujuan dari pihak kedua atas penawaran dari pihak pertama. Ijab dan Kabul dapat dilakukan dengan empat cara yaitu lisan, tulisan, isyarat dan perbuatan. Sistem MLM melakukan sebuah transaksi atas keempat hal diatas, bisa dilakukan dengan tulisan dimana calon member/konsumen diharuskan mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh perusahaan sebelum membeli produk atau menjadi anggota dari perusahaan tersebut, kemudian ketika dia merekrut anggota baru otomatis dia mendapatkan bonus (fee) dari hasil kerjanya memasarkan produk tersebut kepada orang lain. Pendapatan bonus ini bekerja secara otomatis sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan dan ini bisa di analogikan dengan bentuk ijab-kabul secara perbuatan yang dalam istilah fiqhnya disebut ta’athi atau mu’athah (saling memberi dan menerima). Adanya perbuatan saling memberi dan menerima dari para pihak yang telah saling memahami perbuatan perikatan tersebut akan membawa kepada sahnya transaksi tersebut.
E. MLM Syariah
Secara realitas, kini perusahaan MLM sudah banyak tumbuh dan berkembang baik di dalam maupun luar negeri. Bahkan di Indonesia sudah ada yang secara terang terangan menyatakan bahwa MLM tersebut sesuai syariat dan mendapatkan sertifikasi halal dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Untuk MLM yang berdasarkan prinsip syariah ini, masih diperlukan akuntabilitas dari MUI. Ada dua spek untuk menilai apakah bisnis MLM itu sesuai dengan syariah atau tidak yaitu : 8
1. Aspek produk atau jasa yang dijual
2. Sistem dari MLM itu sendiri
Dari aspek produk yang dijual, dalam hal ini objek dari MLM harus merupakan produk-produk yang halal dan jelas bukan produk yang dilarang oleh agama. Selain halal objek yang dijual juga harus bermanfaat dan dapat diserah terimakan serta mempunyai harga yang jelas. Oleh karena itu walaupun MLM dikelola atau memiliki jaringan distribusi yang dijalankan oleh orang muslim namun apabila objeknya tidak jelas bentuk, harga dan manfaatnya maka hal itu bias dikatakan tidak sah. Adapun dari sudut sistem MLM itu sendiri, pada dasarnya MLM yang berbasis syariah tidak jauh berbeda dengan MLM konvensional, namun yang membedakan adalah bahwa bentuk usaha atau jasa yang menjalankan usahanya harus memenuhi hal-hal sebagai berikut :
1. Sistem distribusi pendapatan haruslah dilakukan secara professional dan seimbang. Dengan kata lain tidak terjadi eksploitasi antar sesama.
2. Apresiasi distributor, haruslah apresiasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, misalnya tidak melakukan pemaksaan, tidak berdusta, jujur dan tidak merugikan pihak lain serta memiliki komitmen jiwa yang bagus (akhlakul karimah).
3. Penetapan harga kalaupun keuntungan (komisi dan bonus) yang akan diberikan kepada para anggota berasal dari keuntungan penjualan barang, bukan berarti harga barang yang dipasarkan harus tinggi. Hendaknya semakin besar jumlah anggota distributor maka tingkat harga makin menurun yang pada akhirnya kaum muslimin dapat merasakan sistem pemasaran tersebut.
4. Jenis produk yang ditawarkan haruslah produk yang benar-benar terjamin kehalalan dan kesuciannya sehingga kaum muslimin merasa aman untuk menggunakan/mengkonsumsi produk yang dipasarkan.

Sumber Kutipan
1. Andreas Harefa, Multi Level Marketing (Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999) halaman 4
2. Gemala Dewi, SH. LLM, et al, Hukum Perikatan Islam di Indonesia (Jakarta
Prenada Media) halaman 144
3. Andreas Harefa, 10 Kiat Sukses Distributor MLM, Belajar dari AMWAY, CNI
dan Herbalife (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999) halaman 12
4. Bisnis Dengan Sistem MLM dalam http://www.dakwatuna.com/2006- artikel
ekonomi syariah
5. Pemasaran Berjenjang dalam http://www.apli.com- sumber wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
6. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol.III halaman 159
7. Ibid
8. Dewan syariah dalam MLM diambil dari http://www.e-syariah.com

Minggu, 24 Juni 2012

SEWA - MENYEWA ( IJARAH )


A.     Pengertian dan dasar hukum Ijarah
Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata أٙجٙرٙ - يٙأْجُر - أٙجْڙا . semakna dengan kata al-iwadh yang mempunyai arti ganti atau upah, dan juga dapat berarti sewa atau upah.[1]
Menurut ulama’ Hanafiyah pengertian Ijarah ialah akad untuk  membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan dilakukan dengan sengaja dari suatu zat yang disewa dan disertai imbalan.
Menurut ulama’ Asy-Syafi’iyah ijarah ialah  akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.
Menurut jumhur ulama’ fiqih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya.
Menanggapi pendapat di atas bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama’ fiqih adalah asal fasiq (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ maupun qiyas yang shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat di hukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.
Adapun jumhur Ulama’ telah berpendapat bahwasannya hukum asalnya Al-ijarah adalah mubah atau diperbolehkan, bila sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ berdasarkan ayat al-Qur’an, hadist-hadist Nabi, dan ketetapan Ijma’ Ulama’. Adapun dasar hukum tentang kebolehan Al-ijarah telah disebutkan dibawah ini :

 “ berikanlah upah atau jasa kepada orang yang kamu pekerjakan sebelum kering keringat mereka”. (Hadist Riwayat Ibnu Majah).
Perlu diketahui bahwa tujuan disyariatkan al-ijarah itu adalah untuk memberi keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Banyak oarang yang mempunyai uang, tetapi tidak dapat bekerja. Dipihak lain banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang. Dengan adanya al-ijarah keduannya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat.[2]
B.     Rukun dan Syarat Ijarah
Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah hanya satu yaitu ijab dan Qobul dari dua belah 
Pihak yang bertransaksi. Adapun menurut Jumhur Ulama’ rukun ijarah itu ada empat, yaitu :
                        a. Dua orang yang berakad
                        b. Sighat (ijab dan qabul)
                        c. Sewa atau imabalan
                        d. Manfaat[3]
Adapun syarat-syarat al-ijarah yang ditulis oleh Nasrun Haroen ada 8 yaitu :
  terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama’ Syafi’iyah dan hanabilah disyaratkan telah baligh dan berakal. Oleh sebab itu, apabila orang yang belum baligh atau tidak berakal, seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah.
  kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah. Apabila salah seorag di antaranyaterpaksa melakukan akad ini, maka akad al-ijarah nya tidak sah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. An-Nisa:29   
  manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas, maka akadnya tidak sah. Kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu datangan penyewa.
  Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya. Oleh sebab itu para ulama’ fiqh sepakat, bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.
  Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalakan oleh syara’, oleh sebab itu, para ulama’ fiqh sepakat mengatakan tidak boleh menyewa seseorang untuk menyantet orang lain, menyewa seseorang untuk membunuh orang lain, demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadikan tempat-tempat maksiat.
  Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa.
  Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan.
   Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.[4]
C.     Macam-macam Ijarah
Berdasarkan uraian tentang definisi dan syarat ijarah, maka ijarah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian.
1.    Ijarah ‘ala al-manafi, yaitu obyek akadnya adalah manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain. Dalam ijarah ini tidak dibolehkan menjadi objeknya sebagai tempat yang di manfaatkan untuk kepentingan yang dilarag syara’. Namun demikian ada akad ijarah ‘ala al’manafi yang perlu mendapatkan perincian lebih lanjut, yaitu :
a.       Ijarah al-‘arad (akad sewa tanah) untuk ditanami atau didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika dijelaskan peruntukannya. Apabila akadnya untuk ditanami, harus diterangkan jenis tanamannya, kecuali jika pemilik tanah (mu’jir) memberi izin untuk ditanami apa saja.
b.      Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaanya. Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan, jadi untuk menghingdari sengketa kemudian hari, harus disertai rincian pada saat akad.
2.    Ijarah ‘ala al-maal ijarah, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau pekerjaan, seperti : membangun gedung atau menjahit pakaian. Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. Karena itu, pembahasanya lebih di titik beratkan kepada pekerjaan atau buruh (ajir). Ajir dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a.       Ajir khass adalah pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditetapkan, seperti : pembantu rumah tangga dan sopir.
b.      Ajir musytarak adalah seseorang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terikat oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan karena penyerahan dirinya terhadap pihak lain, misalnya : pengacara dan konsultan.[5]
D.    Upah Dalam Pekerjaan Ibadah
Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, atau membaca al-Qur’an yang pahalannya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa, menjadi mu’adzin, menjadi imam, dan lain-lain yang sejenis hukumnya megambil dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rosulullah saw :
“ bacalah olehmu al-Qur’an dan janganlah kamu cari makan dengan jalan itu”.
Menurut madzab Hambali, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan mengajar al-Qur,an dan sejenisnya, jika tujuannya termasuk untuk mewujudkan kemaslahatan. Tetapi, haram hukumnya mengambil upah jika tujuannnya termasuk taqarrub kepada Allah.
 Madzab Maliki, Syafi’i, dan Ibnu Hazm, membolehkan mengambil upah dari aktivitas yang dianggap sebagai perbuatan baik. Pengajar al-Qur’an, guru agama disekolah atau ditempat lain, dperbolehkan mengambil atau menerima upah sebagai imbalan mengajar al-Qur’an atas jasa yang diberikannya, dan kegiatan sejenis, baik secara bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya, dan karena mereka membutuhkan tunjangan untuk dirinya dan keluarganya, mengingat mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan aktifitas lainnya selain aktifitas tersebut.  
E.     Pembatalan dan Berakhirnya al-Ijarah
Ijarah merupakan akad yang lazim, yaitu akad yang tidak membolehkan adanya fasakh (pembatalan) pada salah satu pihak, kecuali jika adanya faktor yang mewajibkan terjadinya fasakh. Faktor-faktor yang menyebabkan ijarah menjadi fasakh, antara lain :
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika barang sewaan berada ditangan penyewa (musta’jir). Benda yang disewakan rusak, seperti rumah yang disewa roboh atau binatang yang disewa mati, atau benda yang diijarahkan rusak, misalnya baju yang diupahkan untuk dijahit dan tidak mungkin untuk diperbaikinya. Menurut jumhur ulama’, kematian pada salah satu orang yang berakad tida dapat memfasakh ijarah, karena ahli warisnya dapat menggantikan posisinya, baik sebagai mu’jir atau musta’jir. Namun ulama’ Hanafiyah berpendapat, bahwa akad ijarah berakhir karena kematian salah satu pihak yang berakad, dan benda ijarah tidak boleh dijual kecuali atas izin musta’jir, atau dia mempunyai hutang sehingga benda itu disita pihak berwajib untuk membayar hutangnya.
b.      Terpenuhinya manfaat benda ijarah atau selesainya pekerjaan dan juga berakhirnya waktu yang telah ditentukan, kecuali apabila ada alasan yang melarang memfasakhnya, seperti masa ijarah terhadap tanah pertanian yang telah habis masa sewanya sebelum tiba masa panennya. Dalam kondisi demikian, status benda ijarah masih berada di tangan penyewa (musta’jir) dengan syarat dia harus membayar uang sewa lagi kepada pemilik tanah (mu’jir) sesuai kesepakatan.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal berikut :
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa
b.      Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan runtuhnya bangunan gedung.
c.       Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e.       Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadia-kejadian yang luar baisa, seperti terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan kehabisan modal.[6]


[1] Fathurrahman Jamil, “Fiqh Muamalah” (Jaklarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), vol. 3, hal 155
[2] Abrur Rahman Ghazaly, dkk, “Fiqh Muamalah ” (Jakarta : Kencana, 2010), hal, 278
[3] Rahmat Syafei, “Fiqh Muamalah” (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hal, 125
[4] Nasrun Haroen,” fiqh Muamalah” (jakarta: Gaya Media Pratama, 2000). Hal. 232-235
[5] Qomarul Huda, “Fiqh Muamalah” (Yogjakarta : Teras, 2011), hal, 85-87
[6] Sayyid Sabiq, “Fiqh as-Sunnah” (Semarang : Toha Putra,) Juz. 3, hal, 199-200